Novel karya Sahabat saya, Muhammad Gunawan Yasni, baru saja terbit. Judulnya "SANG PENATAP MATAHARI", dan saya dipercaya menjadi Editornya. Cukup melelahkan mengedit novel kontemplatif setebal 454 halaman ini, karena ternyata saya gagal mengambil jarak dengan tokoh utama novel ini, Mogayer. Saya juga gagal keluar dari suasana yang diciptakan Gunawan, sang penulisnya. Hingga di beberapa bagian, saya merasa cengeng dan harus membiarkan air bergulir dari mata saya. Lebih-lebih ketika saya menyaksikan sendiri, Gunawan menangis ketika membaca bagian akhir novel ini sebelum naik cetak.
Novel ini bercerita tentang seorang anak laki-laki ringkih, Mogayer Gamil Yahya, yang kemudian tumbuh menjadi pemuda yang selalu menutup diri dan tidak percaya dengan segala potensi dan kelebihannya. Dia bahkan takut pada cahaya matahari. Untung Kakak sulungnya "menyiksanya" dengan latihan bela diri, yang suatu saat kelak bermanfaat dan berhasil menaikkan kepercayaan dirinya.... Uniknya, Mogayer yang anak seorang Dubes ini, sejak bayi "diasuh" oleh--semacam--makhluk astral yang justru menjadi pembawa cerita hidupnya. (Nama makhluk astral itu Saray, penghuni Tabiang Takuruang di Sumatra Barat). Membuat alur novel ini menjadi tidak biasa. Mengingatkan saya pada novel atau cerpen karya Iwan Simatupang.
Yang menarik, novel yang ditulis oleh Anggota Dewan Syariah Nasional ini merangkai jalinan "cinta" yang sangat indah antara Mogayer dengan beberapa orang wanita dengan latar belakang di Yordania, Mesir dan Spanyol, juga di Indonesia. Kisah cinta itu digelar dengan santun dan jauh dari vulgar. Bahkan perasaan cinta itu begitu dalam, sehingga sulit diungkapkan dengan kata-kata. Latar belakang Gunawan sebagai Praktisi Perbankan dan Pasar Uang Syariah, tidak menjebaknya menulis novel bergenre syariah yang kental dengan istilah-istilah yang lazim digunakan dalam ekonomi syariah.
Sebagai Editor, tentu saja saya membaca novel ini beberapa kali, tapi setiap kali membaca dari awal, selalu ada hikmah baru yang saya dapatkan. Saya juga mendapat pengetahuan baru, misalnya seputar Perang Paderi, Uji Kehamilan Galli Manini, Jembatan Allenby, Penjara Nabi Yusuf, Matador, dan sebagainya. Agaknya Anda harus membaca sendiri novel epik ini, sehingga--siapa tahu--Anda bisa merasakan hal yang lebih dahsyat dari yang saya rasakan, dan mendapatkan lebih banyak hikmah (dan pelajaran) dari yang berhasil saya dapatkan.
Novel ini tidak dijual di toko buku, tapi dipasarkan melalui online. Saya dengar sudah hampir 2000 eksemplar terjual, padahal baru terbit bulan Oktober ini. Suatu capaian yang luar biasa untuk penjualan sebuah novel.