Brazil adalah negara terjauh menurut jarak dan waktu tempuh yang pernah penulis kunjungi. Walaupun Brazil penduduknya dianggap berbasis agama Katolik, namun orang Brazil sendiri lebih menganggap sepak bola sebagai agama mereka Penduduk Brazil adalah orang-orang yang work hard but play and party a lot. Menariknya Brazil adalah tipe negaranya yang dalam banyak hal menyerupai Indonesia. Kisaran jumlah penduduknya yang sekitar 200 jutaan dengan berbagai macam etnis dan ras, kelas ekonomi masyarakatnya yang menumpuk di kelas menengah dan menengah ke bawah serta ekonominya dengan titik berat sektor pertanian komoditas dan industri manufaktur, banyak menyerupai Indonesia.
Perbedaan yang menyolok saat tulisan ini dibuat adalah Brazil mempunyai Gross Domestic Product (GDP) tidak kurang dari US$ 2.500 Milyar (2,5 Trilyun) yaitu lebih dari 3X GDP Indonesia yang diperkirakan US$ 700 Milyar (0,7 Trilyun), yang berarti produktivitas serta pendapatan perkapita masyarakat Brazil lebih dari 3X masyarakat Indonesia. Padahal Brazil di periode tahun 1990an pernah dimasukkan ke dalam kategori less developed country untuk mendapatkan potongan hutang luar negeri sampai 80% dari yang berjalan, dan sejak 1985 sampai dengan 1995 telah berganti mata uang dari Cruzeiro sebanyak 6X dan akhirnya menetapkan Reales (R$) sebagai mata uangnya. Periode 1985 – 1995 adalah masa yang berat bagi masyarakat Brazil, yaitu periode ekonomi dengan very high interest rate & very high volatility of purchasing power parity. Sebuah keadaan krisis yang jauh lebih panjang dan berat dibanding krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia menjelang dan sampai di awal tahun 2000an.
Keberhasilan Brazil menjadikan negaranya menjadi salah satu negara dari most emerging countries bersama Rusia, Indonesia dan China (BRIC) pantas diambil sebagai pelajaran bagi Indonesia. Menurut Bank Central Brazil, yang memiliki kompleks perkantoran sangat sederhana dibanding Bank Indonesia, 3 fitur kebijakan makro ekonomi yang membuat Brazil keluar dari krisis yang sangat panjang dan bertahan menghadapi krisis dunia, Eropa dan Amerika hingga sekarang adalah: Inflation Targeting, Fiscal Responsibility & Exchange Rate Flexibility. Kombinasi dari ketiga fitur kebijakan makro ekonomi ini mempunyai esensi kemandirian yang sejalan dengan kesyariahan dalam ekonomi. Kemandirian adalah salah satu yang yang diperumpamakan dalam bagian terakhir Hadits periwayatan dari Suhaib Ar Rumi r.a., bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (H.R. Ibnu Majah).
Brazilian Development Bank (BNDES) yang memiliki misi sosial dan lingkungan khas Brazil, mempunyai kebijakan yang sangat berpihak kepada sektor usaha kecil produktif yang mendukung sektor ekonomi riil Brazil. Semakin kecil usaha produktif sektor riil, semakin kecil bunga yang dikenakan dan semakin lama jangka waktu yang dikenakan. Hal ini bertolak belakang dengan kebiasaan praktik perbankan konvensional maupun syariah di Indonesia yang cenderung mengenakan bunga maupun margin yang tinggi bagi usaha kecil produktif sektor riil karena dianggap tidak atau kurang bankable dan berisiko tinggi.
Dalam interaksi penulis dengan beberapa Economists dari Santander Bank (ranking 5 total asset di industri keuangan Brazil) ada jurus ekonomi yang mereka pandang sangat dijunjung oleh pimpinan Brazil yang sudah diganti beberapa kali namun tetap diterapkan bahkan oleh Presiden Lola yang menjadi kebanggaan para pelaku ekonomi. Penerapan Exchange Rate Flexibility terhadap mata uang Dollar Amerika dan mata uang Euro Eropa, apabila tidak berhati-hati dan didukung oleh sektor riil yang kuat, akan mengganggu ekonomi Brazil. Untuk itu Presiden Lola tetap dengan segala kesederhanaannya (kediaman dan tempat kerjanya di Brasilia yang sederhana untuk ukuran pimpinan tertinggi negara, bahkan dibanding Indonesia sekalipun) menerapkan kebijakan yang sudah dijalankan oleh para pendahulunya, yaitu: mengantisipasi kemungkinan terjadinya penurunan ekonomi dan keuangan yang terkait dengan mata uang Dollar Amerika dan mata uang Euro Eropa dengan mendorong ekspor Brazil yang terdiri dari produk-produk komoditas pertanian dan industri manufaktur ke negara-negara yang lebih beragam, terutama ke negara Latin Amerika lainnya seperti Argentina, Uruguay, Paraguay, Mexico dan lainnya, serta negara-negara lainnya seperti negara-negara Asia dan Afrika.
Komoditas pertanian Brazil seperti Kopi dan Pisang sangat mendunia. Begitu juga produk industri manufaktur mobil yang terkenal dengan flexy cars ukuran kecil dan sedang dengan mesin terintegrasi 3 in 1 menggunakan bahan bakar petroleum, ethanol dan gas, sementara mobil-mobil besar di Brazil menggunakan bio diesel dari banyak macam-macam tumbuhan di Brazil. Lagi-lagi ini sangat sejalan dengan kemandirian ekonomi sebagai salah satu yang yang diperumpamakan dalam bagian terakhir Hadits periwayatan dari Suhaib Ar Rumi r.a., bahwa Rasulullah Muhammad SAW bersabda, “Tiga hal yang di dalamnya terdapat keberkatan: jual beli secara tangguh, muqaradhah (mudharabah), dan mencampur gandum dengan tepung untuk keperluan rumah, bukan untuk dijual” (H.R. Ibnu Majah). Kebijakan sektor riil dalam ekonomi dan keuangan Brazil adalah melakukan privatisasi nasional atas semua Multi National Companies dengan memberi tax heaven sampai dengan 20 tahun. Mobil-mobil Eropa seperti VW dan mesin-mesin pabrik yang diproduksi di Brazil, jauh lebih sesuai dan canggih untuk kondisi alam Brazil dan Latin Amerika dibanding negara-negara asal mobil dan mesin tersebut.
Infrastruktur ekonomi dan perkotaan juga sangat diperhatikan oleh pemerintah Brazil secara berkesinambungan. Pemindahan ibukota dari Rio De Janeiro ke Brasilia yang dimulai masa pemerintahan Presiden Kubichek (1960an) sahabat Presiden Soekarno adalah visi struktur ekonomi dan perkotaan yang brilliant. Sao Paolo yang merupakan ranking kota yang lebih padat dibanding Jakarta memperlihatkan antrian lalu lintas yang lebih sedikit, jumlah motor yang lebih sedikit walaupun kepadatan penduduknya 3X dibanding Jakarta.
Kebijakan ekonomi dan keuangan Brazil yang mengandalkan kemandirian sangat tercermin dalam pengaturan lembaga keuangan di Brazil. Bank-bank Umum di Brazil diarahkan untuk merger sehingga Lembaga Keuangan rangking 1 – 5 adalah bank-bank lokal standar internasional dengan jaringan yang “besar” dan “indah” interaksinya dengan komunitas masyarakat Brazil. Bradesco sebagai lembaga keuangan rangking 3 di Brazil adalah contoh konkret indahnya interaksi Lembaga Keuangan yang mempunyai Head Quarter Office menyatu dengan masyarakat 1 distrik di kota Sao Paolo. Dengan yayasannya, Bradesco memberi beasiswa dan kesempatan kepada komunitas masyarakat yang bersedia bekerja paruh waktu atau bekerja penuh, dengan jenjang karir yang menarik. Turn over pegawai di Bradesco bisa serendah 4% saja setahun, itupun biasanya dari pegawai professional hire yang bukan berasal dari akar komunitas Bradesco. Jumlah Lembaga Keuangan di Brazil jauh lebih sedikit dibanding Indonesia dan diproteksi dengan kebijakan pemerintah yang tidak mudah memberikan izin kepada Lembaga Keuangan asing untuk beroperasi di Brazil. Lembaga Keuangan asing yang memberikan produk-produk keuangan generic seperti Lembaga Keuangan lokal akan sulit memperoleh ijin operasi di Brazil. Pemerintah Brazil juga tidak berkeinginan menciptakan Otoritas Jasa Keuangan. Brazil lebih menerapkan kesederhanaan kebijakan pengawasan yang berkesinambungan antara Bank Sentral, Kementrian Keuangan dan Kementrian Perdagangan dalam sebuah kebijakan pengawasan pengembangan perekonomian menyeluruh yang menjadi agenda utama kepemimpinan tertinggi Brazil.
Ada satu hal utama yang belum mampu dilakukan Brazil terkait dengan penyediaan instrumen permodalan untuk menarik investor dari luar Amerika dan Eropa masuk ke Brazil. Kebijakan perbankan yang hanya menjamin kisaran setara dengan US$ 35.000 untuk foreign deposit perindividu sangat tidak menarik untuk orang asing. Bursa Brazil yang menggabungkan securities, commodities & futures exchange belum menarik minat investor dari luar Amerika dan Eropa untuk masuk. Tahun 2011 BM&FBOVESPA Brazil sebagai securities, commodities & futures exchange melakukan road show ke negara-negara timur tengah untuk mengajak masuk sebagai investor di Brazil sebagai most emerging country. Mereka gagal mengantisipasi anggapan investor negara-negara timur tengah yang menganggap Brazil bukanlah negara yang bisa mengakomodir keinginan para investor untuk melakukan investasi di sharia compliant investment. Brazil memerlukan investor dari luar Amerika dan Eropa untuk kebijakan antisipasi krisis yang dapat melanda kawasan Amerika dan Eropa.
Secara pribadi, penulis menawarkan kemampuan expertise khas Indonesia dalam memfasilitasi keperluan penciptaan sharia compliant investment di Brazil kepada International Business BM&FBOVESPA Brazil. Tentu saja hal ini penulis sampaikan dan usulkan kepada Duta Besar Indonesia di Brazil Bapak Sudaryomo Hartosudarmo yang bersama Deputy Chief of Mission Kedutaan Besar Republik Indonesia serta Consul Paulo Camiz De Fonseca sangat akomodatif menemani kunjungan benchmarking penulis ke Brazil di tiga kota utama yaitu Rio De Janeiro, Brasilia dan Sao Paolo. Tidak berlebihan kiranya jika Indonesia dapat memfasilitasi Brazil memasuki pasar modal dan keuangan syariah dengan memberikan training & advisory melalui hubungan formal government to government yang akan menjadi indikator utama keberhasilan Diplomasi Ekonomi Indonesia di mata dunia. Brazil memang “besar” dan “indah” untuk dijadikan target Diplomasi Ekonomi.
Negara dengan jumlah umat muslim terbesar di dunia tak serta merta menjadikan Indonesia memiliki peran besar dalam ekonomi syariah. Padahal banyak pihak, terutama dari negara-negara Islam di Timur Tengah dan umat lainnya seperti negara-negara pecahan uni soviet, berharap Indonesia dapat menjadi penengah dengan kemoderatannya dalam membagi kemampuannya untuk menanggapi berbagai rencana penerapan ekonomi syariah yang ada saat ini dengan kemampuan penerapan ekonomi dan keuangan syariah yang ditandai dengan koordinasi baik penerapan fatwa keuangan syariah antara Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia dan 2 otoritas keuangan yaitu Bank Indonesia dan Kementrian Keuangan.
Sangat ironis jika melihat sikap negara-negara tetangga Indonesia yang berambisi menjadi hub keuangan syariah di Asia dan dunia. Singapura dalam diplomasi ekonomi syariahnya, pernah menyebutkan bahwa salah satu potensi mereka menjadi hub syariah adalah karena bertetangga dekat dengan Indonesia. Saya jadi membayangkan, jika diberi amanah menjadi salah satu pemimpin negara ini, yang tentunya umat Islamnya akan mendukung penuh di semua lini untuk diplomasi ekonomi syariah, maka saya akan mengatakan “Kami siap segala sesuatunya untuk menjadi hub dan tujuan investasi syariah saudara-saudara kami dari Timur Tengah atau belahan dunia manapun termasuk Brazil …. Dan kami adalah negara dengan umat muslim terbesar di dunia yang kaya dengan berbagai kemampuan pengembangan ekonomi dan keuangan syariah…”