detikRamadan – Rabu, 02/07/2014 17:23 WIB
Jakarta – Melaksanakan ibadah puasa di negara Eropa, yang notabene umat Islam adalah minoritas, menjadi cerita yang unik dan tantangan tersendiri. Selain karena bertepatan dengan musim panas yang berarti waktu siang hari semakin panjang, menjalankan ibadah puasa hingga Idul Fitri nanti tidak dengan keluarga merupakan sesuatu hal yang baru buat saya. Perkenalkan, saya Handika Prasetya Dwiyasni, mahasiswa S2 Teknik Kimia, University of Twente, Enschede, Belanda.
Tepat 10 Juli 2013, perjalanan bulan Ramadan pertama di luar negeri pun dimulai. Menyadari waktu Maghrib sekitar pukul setengah 10 malam dan waktu Subuh sekitar pukul 3 pagi, serta merujuk pada pengalaman senior di Belanda, maka hal pertama yang saya lakukan adalah mengubah jam tidur.
Saya memutuskan untuk terjaga sepanjang malam, dan baru tidur setelah melaksanakan salat Subuh. Hal ini sangat mungkin dilakukan karena periode bulan Ramadan ini bertepatan dengan musim liburan perkuliahan. Meskipun sempat merasakan pusing pada hari pertama ketika masih tersisa 3 jam lagi menuju waktu berbuka, tapi fase ini merupakan adaptasi tubuh. Rasa sakit di kepala ini pun urung menghampiri kembali di hari-hari selanjutnya.
Masak Sendiri dan Jadi Pengantar Pos
Selama Ramadan ini, saya berusaha membuat komitmen untuk selalu berusaha membaca Al-Qur’an setiap selesai salat wajib. Selain itu, setiap malam saya berusaha untuk melakukan salat ‘Isya dan Tarawih di masjid terdekat yang kebetulan jaraknya hanya 10 menit bersepeda. Setiap berbuka pun saya sempatkan untuk streaming acara tausiyah sahur di salah satu stasiun televisi Indonesia.
Selain kegiatan spiritual, saya pun melakukan aktivitas-aktivitas menarik lainnya. Belum pernah terpikirkan sebelumnya seorang mahasiswa yang sebelum berangkat ke Belanda tidak dapat masak, kali ini pusing memikirkan menu berbuka. Berbagai eksperimen masak saya lakukan, mulai dari tumis kangkung, terong balado, ayam kecap, ayam rica-rica, ayam cabe hijau, daging semur, dan sop buah. Saya jamin rasanya pasti enak, karena toh cuma saya yang makan.
Aktivitas organisasi pelajar pun tidak luput dari jangkauan saya. Ketika itu, kami dari Perhimpunan Pelajar Indonesia di Belanda (PPI Belanda) sedang melakukan persiapan acara terbesar kami, yaitu International Conference on Indonesian Development (ICID 2013). Tidak seperti mengadakan kegiatan kampus di Indonesia, persiapan acara ini dilakukan secara online dan sangat sedikit pertemuan fisik, sehingga membuat kegiatan ini menjadi cerita tersendiri.
Liburan panjang ini pun saya manfaatkan untuk mencari tambahan uang melalui kerja sampingan. Saya melamar menjadi part time pengantar surat yang bertugas 2x seminggu. Pekerjaan ini dilakukan dengan menggunakan sepeda, berkeliling ke sebuah area perumahan yang telah ditentukan oleh perusahaan pos.
Selain kegiatan pribadi, saya juga melakukan kegiatan bersama dengan Indonesian Moslems in Enschede Association (IMEA). Setidaknya satu minggu sekali, kami mengadakan buka puasa bersama yang didahului dengan pengajian dan tausiyah. Kegiatan ini dilakukan secara bergiliran di rumah salah satu mahasiswa atau pun penduduk Indonesia yang sudah lama tinggal di Belanda.
Meskipun kegiatan ini dilakukan malam hari, namun tidak menyurutkan antusiasme peserta kegiatan yang datang. IMEA pun mengadakan kerjasama dengan perkumpulan muslim di kampus Twente (UT Moslems) untuk mengadakan buka puasa bersama di kampus dan turut mengundang mahasiswa Belanda dan internasional yang notabene non-muslim. Dan pada puncaknya, kami pun mengadakan perayaan Lebaran bersama-sama, setelah melakukan salat Ied di masjid terdekat. Selain merekatkan tali silaturahim antar penduduk di Enschede, momen ini kami manfaatkan (khususnya mahasiswa) untuk melepas rindu akan masakan khas Indonesia.
Menjaga Pandangan Jadi Tantangan Terberat
Hari demi hari saya jalani, dan semakin mendekati Lebaran, saya pun menyadari sebenarnya lapar, haus, dan perubahan jam tidur bukanlah merupakan tantangan terbesar. Sebagai laki-laki, buat saya tantangan terbesar adalah menjaga pandangan mata, karena musim panas merupakan arena bagi para masyarakat di Belanda untuk mendapatkan asupan sinar matahari dan membuat mereka berpakaian cukup terbuka. Sulit memang karena sepertinya fenomena ini tidak dapat dihindari.
Kunci untuk mengatasi hal ini menurut saya terletak pada kemampuan hati dan otak untuk tidak meneruskan sinyal yang tertangkap mata ke tempat lainnya. Banyaknya aktivitas yang dilakukan pun juga turut membantu saya untuk cepat melupakan apa yang saya lihat.Tantangan selanjutnya adalah komunikasi dengan keluarga di Indonesia, mengingat perbedaan jam antara Eropa dan Indonesia. Teknologi komunikasi seperti Skype sangat membantu memecahkan masalah ini. Dan puji syukur kepada Allah, saya masih dapat melakukan skype dengan keluarga besar ketika hari Lebaran. Campur aduk memang rasanya, antara senang, sedih, terharu di tengah-tengah jaringan internet yang sedikit terputus-putus.
Sebagai penutup, saya pun merujuk pada Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 286, “Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” Kutipan tersebut memberi dorongan yang kuat untuk kita semua untuk tetap berpikir sehat dan optimis bahwa ujian dan tantangan yang kita hadapi sudah sesuai dengan kapasitas kita masing-masing. Jika kita mampu melewati ujian tersebut, tandanya kita mejadi orang yang lebih baik dari sebelumnya. Jadi, puasa 19 jam di negeri orang dan menjadi minoritas, siapa takut!