Presiden Soeharto pada Peringatan Nuzulul Qur’an – Perlu Bekerja Lebih Keras Untuk Membangun
*Dr. Z. Yasni: Tinggalkan Ilmu Gincu, Kembangkan Ilmu Garam
Jakarta, Kompas
Presiden Soeharto menyatakan pentingnya wadah Musyawarah Antar Umat Beragama yang terbentuk baru-baru ini. Sebab dengan wadah itu, ia yakin bukan saja kehidupan yang rukun dan penuh pengertian di antara umat beragama di Indonesia ini akan terbina makin kokoh, tetapi juga peranan dan sumbangan semua agama yang ada di Indonesia dalam mensukseskan pembangunan bangsa, akan makin besar lagi.
Kepala Negara RI itu mengatakan hal ini selasa malam pada peringatan Nuzulul Qur’an di Masjid “Istiqlal”, Jakarta. Acara peringatan ini dihadiri para menteri, ulama, korps diplomatik dan umat Islam yang memenuhi masjid besar itu.
“Bagi kita,” kata Presiden “sebenarnya pembangunan dan agama tidak dapat dipisahkan, Pembangunan akan membawa kita kepada kemajuan untuk mencapai kebahagiaan. Agama akan mengantar dan mendorong kita untuk mencapai kemajuan dan kebahagiaan pula. Dan kemajuan yang penuh kebahagiaan bagi kita semua itu, adalah tujuan pembangunan masyarakat Indonesia”.
“Apabila tujuan setiap agama adalah untuk memperbaiki mutu kehidupan manusia, lahir maupun rohaninya, maka teranglah bahwa mutu kehidupan yang demikian itu tidak akan terwujud dalam masyarakat yang serba terbelakang dan penuh kemiskinan. karena itu, dari agama-lah sesungguhnya bersumber dorongan yang tidak habis-habisnya agar masyarakat membangun dirinya”.
Presiden mengingatkan, semua agama mengandung seruan dan suruhan untuk membangun masyarakat agar tercapai kebahagiaan hidup, baik di dunia maupun kebahagiaan hidup di akhirat yang nanti. “Kebahagiaan hidup di dunia yang sekarang hanya mungkin tercapai melalui pembangunan. Karena itu marilah kita bekerja lebih keras lagi untuk mensukseskan pembangunan”. Kata Presiden.
Pada awal pidatonya, Presiden meminta kesadaran kita akan hubungan manusia dengan Tuhan Yang Maha Kuasa. ” Ini membuat kita tidak lupa diri sewaktu mencapai keberhasilan, dan tidak akan patah semangat-sewaktu dihadang kesulitan. Dalam arti itulah kita menyerahkan diri sebulat-bulatnya kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan penyerahan diri seperti itu membuat kita berbahagia”.
Antara gincu dan garam
Sementara itu Dr. Zainul Yasni dalam khotbahnya menyerukan ditinggalkannya “ilmu gincu” dan dipakainya “ilmu garam” oleh umat Islam di Indonesia. Sebab hal ini sesuai dengan filosofi dan pendekatan dasar yang diajarkan kitab suci Al Quran.
Dr. Yasni mengemukakan, Nabi Muhammad SAW pernah menyatakan bahwa karya seorang dengan tangannya dan setiap usaha dagang yang baikadalah kerja yang terbaik. Ini berarti bahwa isi dan kegiatan, lebih penting dari sekedar bentuk dan merek. Dalam kaitan ini ditunjukkan bahwa rakyat Indonesia dengan sadar telah memilih bentuk Republik dengan dasar Pancasila bagi negaranya.
Menurut Dr. Yasni, Hakekat Pancasila dilahirkan oleh para pendiri Negara dari hakekat paham ke-Tuhanan dan kemasyarakatan yang hidup dalam negara ini, pada agama manapun terletaknya, meskipun terutama pada Islam selaku agama mayoritas rakya Indonesia. Masing-masing pemeluk agama dalam sejarah negara ini, cukup terpelihara dan kehidupan lahir-bathinnya telah berkembang dengan baik dan tidak mengecewakan.
Dinyatakan, sejauh mengenai Islam. Dapat disaksikan perkembangan kualitatifnya terus meningkat, demikian pula kuantitatifnya, yang bahkan jauh lebih cepat dibanding negara-negara tempat lahirnya Islam itu sendiri. “Banyak tamu dari Timur Tengah yang semula tidak mengira bahwa Islam itu diamalkan di Indonesia, meskipun dia dilahirkan dan dirayakan di negara lain”.
Garam dalam air
Dr. Yasni yang sehari-harinya adalah Ketua Team Koordinasi Kegiatan Ekspor Timur Tengah Deperdagkop menyatakan, agama Islam maju, meskipun negara ini bukan bernama Negara Islam atau Negara Teokrasi, dan meskipun pula bukan negara sekular. Karena Pancasila sendiri tidak membenarkan sekular. “Ibarat garam dalam air, Islam itu terasa meskipun tidak kelihatan seperti gincu yang tampaknya saja menyolok dan gagah karena warnanya maupun papan nama, tapi tanpa rasa dan cita.
Sehingga kata Dr. Yasni, bagi kita di Indonesia adalah keliru kalau masih ada yang berilmu gincu, yang menginginkan “nama” lebih daripada “isi”. Atau yang mementingkan “bungkus” atau “merek” dari isi. Karena, katanya. hal itu bagi kondisi Indonesia tidak akan mengenai sasaran pembinaan masyarakat seperti yang diharapkan bangsa Indonesia. “Bahkan akan dapat menimbulkan berbagai prasangka yang dapat berkembang menjadi akhirnya membukakan jalan bagi kaum anti-Tuhan untuk menghancurkan Pancasila dari dalam”.
Zainul Yasni yang juga dosen IPB menyatakan, karena Islam dan Al Quran dalam sejarah negara ini adalah salahsatu pencipta, pembina dan pembela terdepan Pancasila, maka “ilmu garam-lahyang harus kita kembangkan dan yang dikehendaki angkatan muda Islam, bukan ilmu gincu!”. Demikian Dr. Yasni.
Dikutip dari harian Kompas tanggal 06 Agustus 1980